Blora, Baladamedianusantara - Mendengar kesenian barong atau kesenian barongan tentu tak asing lagi di telingan kalian. Yaps, itu adalah salah satu kesenian yang sangat populer di Jawa Tengah, lebih-lebih kalian yang berada di kabupaten blora, kabupaten yang memiliki ciri khas barongan tersebut tentu memiliki jumlah seniman barongan yang cukup banyak.
Seni barong merupakan sebuah kesenian yang sangat populer di kalangan masyarakat blora, tapi apakah kalian tahu bagaimana sejarahnya hingga bisa seperti yang kita nikmati sekarang?
Istilah barongan sendiri merupakan topeng kepala yang dibuat menyerupai singo barong atau singa besar sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas. Tokoh singo barong dalam cerita barongan disebut juga gembong Amijoyo yang berarti harimau besar yang bertenaga.
Kesenian barongan biasanya ditampilkan dalam bentuk tarian kelompok yang menggambarkan keperkasaan gerak seekor singa raksasa. Oleh karena itu, peranan singo barong dalam pertunjukan sangat dominan.
Adapun beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu bujangganong/pujonggo anom Joko Lodro, genderuwo pasukan berkuda, dan reog noyontoko untub.
Dalam pementasannya kesenian barongan umumnya diiringi dengan alat musik tradisional seperti kendang, gedhuk, bonang, saron, demung, dan kempul.
Seiring perkembangan zaman, ada penambahan beberapa alat musik modern, yaitu berupa drum, terompet, kendang besar dan keyboard. Terkadang dalam beberapa pementasan juga sering dipadukan dengan kesenian campur sari.
Kesenian barongan bersumber dari Hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang bermula dari arak-arakan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun/Pujonggo Anom dan singo barong guna melamar Dewi Sekartaji, putri dari Raja Kediri.
Oleh karena itu, Patih Bujangganong atau Pujonggo Anom diperintah untuk meminangnya. Akan tetapi, saat rombongan dari Bantarangin yang menuju Kerajaan Kediri sampai di Hutan Wengker, mereka dihadang dan dikalahkan oleh Singo Barong. Singo Barong adalah jelmaan dari Gembong Amijoyo yang ditugaskan menjaga hutan tersebut.
Hal yang sama juga dialami oleh rombongan Lurah Noyontoko dan Untub, utusan Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala, yang juga diutus untuk melamar Dewi Sekartaji. Karena permintaan, Noyontoko dan Untub mendatangkan saudara sepeguruan mereka, yaitu Joko Lodro dari Kedung Srengenge, untuk menghadapi Singo Barong.
Joko Lodro digambarkan sebagai pendekar yang sakti mandraguna dan dapat berubah wujud menjadi raksasa. Pada akhirnya, Singo Barong pun dapat ditaklukkan dan dibunuh.
Namun, Singo Barong memiliki kesaktian dan dapat hidup kembali asal disumbangkan dengan nama Singo Barong. Tidak lama kemudian, Prabu Klana Sawandana, yang mendapat laporan dari utusannya, menghadapi Singo Barong sendiri berbekal senjatanya yang dikenal bernama Pecut Samandiman.
Dengan Pecut Samandiman, Singo Barong dilumpuhkan. Namun, Prabu Klana Sawandana mengajukan kesepakatan, apabila Singo Barong mau mengantarnya ke Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji, maka perjanjian akan ditandatangani.
Tawaran itu diterima oleh Singo Barong. Ketika sampai di alun-alun Kediri, Prabu Klana Sawandana berhadapan dengan Raden Panji Asmara Bangun, yang mempunyai tujuan sama. Akibatnya, terjadilah peperangan yang dimenangkan oleh Raden Panji. Setelah Prabu Klana Sawandana dibunuh, Singo Barong dan sisa rombongan dari Bantarangin, termasuk Patih Bujangganong, mengabdikan diri kepada Raden Panji.
Setelah itu, Raden Panji beserta seluruh rombongannya melanjutkan perjalanan guna melamar Dewi Sekartaji. Arak-arakan yang dipimpin oleh Singo Barong dan Patih Bujangganong inilah yang menjadi latar belakang asal-usul kesenian Barongan.
Komentar
Posting Komentar